Mari baca saya punya cerita, cerita saya ketika mendapati diri ini bernama Ageng Budi Daya.
Sungguh saya tak ingin memulai cerita dari saya itu ada didalam kandungan ibu, sebenarnya saya ingin bercerita dari situ, tapi sayang saya tak mampu, atau memang tak tahu sesuatu apa ketika saya ada di dalam rahim ibu, tak perlulah anda tahu, karena akan membuat saya repot karena harus bertanya dulu pada ibu. Tapi suatu waktu saya pernah tahu, karena bertanya, bertanya ketika saya mulai di lahirkan, yang kata ibu, di bidan bernama Ibu Mangku, yang kata ibu juga membantu kelahiran saudara-saudara kandungku, sungguh saya tak tahu, termasuk ketika saya waktu itu mendapati luka jahitan di mata kaki, karena botol-botol itu pecah mengenai kaki, menyebabkan saya berdarah banyak sekali, padahal belum bisa saya waktu itu berdiri.
Jangan heran bila anak kecil bersikap badung, tapi sungguh saya memenuhi syarat waktu itu untuk sekedar di sebut badung. Dalam siang saya melempar jendela kaca dengan batu, pergi jauh-jauh hingga lupa waktu, lupa jika itu jadi larangan ibu. Dalam siang kipas angin itu saya senggol lalu pecah, jatuh dari atas lemari kamar jadi berserakan, membuat saya pun bersiap kabur dari rumah dengan berbekal botol air minum menggantung leher, tapi dasar anak kecil, lapar pun sore saya pulang.
Saya itu punya teman karib, teman yang pastinya saya yakin tak sengaja mencolok mata saya dengan ujung bambu layang-layang, menyebabkan ibu menangis, menyebabkan saya merasa tak bisa melihat, menyebabkan bapak teman itu mengantar saya kerumah sakit, menyebabkan saya ditetesi sesuatu agar takut-takut saya menjadi benar-benar tak bisa melihat, menyebabkan ibu baca-baca sedikit agar saya segera sembuh.
Seperti tadi saya bercerita di atas, kalau saya mempunyai saudara kandung. Di sana saya menjadi tumbuh dengan patokan seorang kakak, apa itu namanya, seorang adik yang selalu menjadi buntut dari segala kegiatan kakaknya. Tak pernah saya mau untuk ditinggal kemanapun ia pergi, tak rela saya dia jauh-jauh tanpa menyertakan saya dalam setiap main-mainnya, menyebabkan ia kesal barang kali, menyebabkan itu berlanjut sampai kami tinggal di Bekasi.
Jarak usia tiga tahun milik kami, membuat saya yang lahiran delapan sembilan mengikuti yang lahir tahun delapan enam ini. Lebih-lebih saya mulai berlebihan, membuat saya sering-sering bersikap iri. Main jauh saya ikut, main dekat saya turut, bolos ngaji dia mulai, kemana saja dia saya turut pergi. Lama waktu berjalan, membuat kami itu tambah punya usia. Dari baju, selera, serta minat sepak bola kita sama. Pernah itu suatu kali saya ingin belajar gitar, membuat saya harus menggambar garis vertikal di dalam kertas, agar rupanya tampak seperti bar pada gitar, membuat mudah untuk ditandai pensil atau bulpen untuk menjadi sebuah kunci gitar pada garis horizontal yang di anggap senar gitar, membuat saya seperti rupanya seorang komposer handal. Mudah rupanya jika kita ini punya kakak, membuat segalanya gampang untuk di lalui, seperti halnya belajar gitar, yang dia pun mengenalkan kunci gitar, membuat saya bisa, bisa bernyanyi walau mempunyai jeda waktu dalam berbunyi.
Oh, maafkan teman saya lupa bercerita, jika saya juga punya adik perempuan, membuat perbedaan jarak juga tiga tahun dengan saya, menyebabkan orang tua saya berbahagia karena mempunyai keluarga yang lengkap, membuat keluarga saya berjumlah lima, membuat berisi anak perempuan dan laki-laki, menyebakan saya di panggil mas ageng, membuat saya kini terlihat ganteng.
Saya begitu terlihat mengikuti, hingga saya jadi sadar diri, sadar kalau tak boleh selamanya begini. Dia semakin besar, saya tumbuh beranjak besar, saya punya sikap serta sifat jadi berbeda, dia juga mungkin sama. Tapi ada yang tak dapat saya rasa itu dirubah, jika dia adalah kakak, seorang panutan bagi adik-adiknya.
Mari kita sama-sama tinggalkan cerita tentang keluarga saya, mari sama-sama kita beranjak pada cerita hanya tentang saya.
Ijinkan saya meminta maaf pada pembaca, di karenakan ruang dan waktu, alur dalam cerita ini membingungkan, mari anggap saja ini seperti dalam film, yang ada itu istilahnya flash back serta flash forward, seperti dalam film Balibo yang penuh kontroversi.
Saya itu sudah jauh punya sekolah waktu SMP, harus dua kali naik angkot untuk sampai sana, membuat saya sering malas pergi kesana, membuat saya belajar beralasan agar tak sering-sering hadir disana. Sampainya saya dalam sekolah negeri bernomer ganjil berangka sial, seolah olah bersekolah di sana bernasib sial. Masuk tanpa kenalan satu pun, menjadikan saya seakan asing dalam lingkungan yang juga asing. Di sana saya nyaris tak punya kenangan berarti, atau mungkin jika disukai di sana di sebut berarti, atau jika di nanti kehadirannya di sebut juga berarti, atau punya kisah bagus di sebut berarti, tapi bagi saya, belum menjadi berarti selama saya belum menjadi diri sendiri.
Mungkin juga sebuah kegagalan karena tak bisa melanjutkan ke SMA negeri karena memiliki saya punya nilai tidak mencukupi. Menjadikan saya menemukan brosur SMA swasta dengan tambahan embel-embel I di belakakang nama resmi, tergeletak di depan sekolah negeri yang saya minati, menjadikan saya mencari tahu, menjadikan saya mendaftar, menjadikan saya murid baru di sana dalam ruang lingkup kecil berisi hanya dua angkatan. Tapi sungguh, disana begitu berarti, saya tumbuh menjadi diri sendiri, persahabatan, pertemanan, susah, senang, sedih, gembira hadir dalam durasi yang wajar. Menyebabkan saya punya sahabat-sahabat hebat.
Tiga tahun terlewati, saya pun harus pergi, naik level ketingkat yang lebih tinggi. Masuk pada kampus berdasar seni. Yang lebih besar namanya, Institut Kesenian Jakarta. Lagi-lagi saya tak lepas dari peran kakak ( dengan alasan agar baku, sesungguhnya saya memanggil dia, Mas Damas) dalam pengambilan keputusan, dimana saran, harap, serta kisah yang di tutur dia tentang kampus ini membuat saya masuk itu dia punya kampus. Menjadikan saya mahasiswa, membuat saya mendapat tataran pengenalan kampus, membuat saya asing dalam lingkungan dunia seakan juga bagai makhluk asing, membuat saya belajar beradaptasi, membuat saya memilih, membuat saya dalam nakal atau tetap seperti ini, serta membuat saya punya kemampuan jadi di perhitungkan, membuat saya mampu duduk disini, didepan layar ini, bercerita tentang kisah hidup diri sendiri.
Dalam siang iseng
di adzan dzhuhur.